Breaking News
- PSS Sleman Diterjang Hujan, Cleberson Absen Berat dampak Cedera Parah
- Peluang SF Hariyanto Menguat di Golkar dan Gerindra Setelah Tidak Terdaftar di Bursa DPD PDI Perjuan
- KPU Riau Intensifkan Pengawasan: Kawal Tujuh KPU Daerah di MK
- Effendi Simbolon Usulkan Megawati Mundur dari Posisi Ketua Umum PDIP, Ini Pendapat Andreas Hugo Pare
- Agenda Hari Ini: Sidang PHPU untuk Kuansing dan Pekanbaru
- Prestasi Gemilang: KPU Riau Dibanjiri Penghargaan
- Semakin Kuat: Peluang SF Hariyanto Merapat ke Golkar dan Gerindra Riau Setelah DPD PDI Perjuangan
- Foto Hasto Kristiyanto Hilang dari Situs DPP PDIP Setelah Jadi Tersangka KPK
- Repol Sambut Positif Pencalonan Parisman Ikhwan untuk Ketua Golkar Riau
- Hasto Kristiyanto Angkat Suara Setelah Jadi Tersangka KPK: Isu Aspirasi Masa Jabatan 3 Periode
Sejarah Pink: Hubungannya dengan Perang Dunia II dan Evolusinya dari Warna Maskulin
Mengulik Warna Pink dan Hubungannya dengan Perang Dunia II: Jauh Sebelum Dianggap Feminin, Warna Pink Dulunya Dikenakan Para Laki-laki
SuaraMedan.id - Warna pink yang saat ini diasosiasikan dengan feminitas, memiliki sejarah yang menunjukkan bahwa warna ini pernah dianggap sebagai warna maskulinitas dalam beberapa budaya dan waktu tertentu.
Pada abad ke-18, pink tidak memiliki asosiasi gender yang kuat. Baik laki-laki maupun perempuan dari kelas atas kerap menggunakan warna pink.
Pada masa itu, pink dianggap sebagai warna yang netral dan bahkan kuat. Kerap dipakai oleh laki-laki sebagai simbol kekayaan dan status sosial.
Warna pink yang merupakan turunan dari merah kerap diasosiasikan dengan keberanian dan semangat.
Merah yang menjadi warna dasar dari pink, memiliki konotasi agresif dan berani yang dianggap cocok untuk laki-laki. Dalam konteks ini, pink dipandang sebagai warna maskulin.
Pada awal abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, terjadi perubahan besar dalam persepsi warna.
Sekitar tahun 1940 hingga 1950-an, warna pink mulai dipromosikan sebagai warna untuk perempuan, sementara biru menjadi warna laki-laki.
Hal ini terjadi seiring dengan munculnya kode warna gender dalam pakaian anak-anak.
Di beberapa budaya modern, seperti di Korea Selatan dan India, pink masih dipandang sebagai warna yang bisa dikenakan oleh laki-laki.
Di India, misalnya, pengantin laki-laki terkadang mengenakan sorban berwarna pink pada hari pernikahan.
Ini menunjukkan bahwa meski ada stigma di banyak tempat tentang laki-laki yang mengenakan warna pink, masih ada budaya dimana warna ini diterima secara maskulin.
Beberapa komunitas kontemporer juga menantang stereotip ini dengan mengenakan pakaian berwarna pink dalam konteks kegiatan yang biasanya dianggap maskulin.

Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments